LDII

LDII
Official Website
Kamis, Mei 01, 2014
0 komentar

Fiqih Muamalat Syar’iyah



Manusia sebagai makhluk hidup, untuk kelangsungan hidupnya harus bisa memenuhi kebutuhannya. Allah sebagai pencipta manusia telah menyediakan kebutuhan mereka terhampar luas di muka bumi ini. Bahkan Allah telah menundukkan/memudahkan segala sesuatu yang ada di langit dan bumi untuk kepentingan manusia. Meskipun demikian, karena segala sesuatu yang ada di muka bumi terbagi menjadi dua yaitu ada yang baik dan ada yang buruk serta Allah telah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk, maka Allah mensyaratkan agar manusia  mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk. Allah telah berfirman:
 Artinya: Dialah yang telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi untuk kalian semua.
 Artinya: Tidakkah kalian memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan/memudahkan untuk (kepentingan) kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
 Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah kalian dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan; sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.


 Artinya: Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepada kalian, dan syukurilah nikmat Allah jika kalian hanya menyembah kepada-Nya.

Ayat-ayat di atas memberi petunjuk kepada kita bahwa untuk memenuhi kebutuhan manusia, Allah telah menyiapkannya di bumi dan memudahkan manusia untuk mendapatkannya. Surat Al-Baqarah ayat 29 dijadikan dasar oleh para ulama bahwa ”segala sesuatu dari urusan dunia hukumnya halal kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya


Allah menghendaki setiap manusia mengambil dan memakan yang halal dan baik serta menjauhi segala yang haram. Maka dari itu Allah menjelaskan melalui lisan Rasul-Nya mana yang halal dan mana yang haram. Perhatikanlah dalil-dalil dibawah ini.



Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “apakah yang dihalalkan untuk mereka?” Katakanlah telah dihalalkan untuk kalian semua yang baik...

 Artinya: Dan Dia menghalalkan untuk mereka semua yang baik dan mengharamkan kepada mereka semua yang haram....
Artinya: Dari Nu’man bin Basyir, Rasululah saw bersabda:” Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (yang belum jelas halal dan haramnya). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara syubhat yang dimungkinkan termasuk dosa, maka dia lebih meninggalkan terhadap yang sudah jelas (haram dan dosanya), dan barangsiapa yang berani mengerjakan perkara syubhat yang dimungkinkan termasuk dosa, maka ia hampir saja terjatuh ke dalam perkara yang jelas (haram dan dosanya).


Artinya: Bersabda Nabi saw:” Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam KitabNya (Quran-Hadits) dan yang harom adalah apa yang diharomkan Allah dalam kitabnya (Quran-Hadits) , dan apa-apa yang Allah diam darinya, adalah bagian dari yang  Dia maafkan darinya.

Penjelasan:



Artinya: Sesungguhnya sabda nabi:.......”Al Halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya”. Pengertian sabda beliau “fi kitabihi” itu tidak terbatas pada al Quran saja, akan tetapi lafal al kitab itu meliputi semua yang diwahyukan kepada Nabi saw terdiri dari al Quran dan al sunah bersama-sama, karena sesungguhnya yang diwahyukan itu ada dua macam yaitu: 1. Wahyu yang dibacakan dan 2. Wahyu yang tidak dibacakan sebagaimana yang telah dinukil oleh Dr. Abdul Ghony Abdul Kholik dari al Baihaqy. Lihatlah kitab Hujiyatu-as sunah halaman 479. Tafsir Sunan Said bin Manshur Bab Fadhoil-al Quran jilid 2 halaman 327.
 Artinya: Pada dasarnya semua bentuk muamalah itu diperbolehkan kecuali ada dalil  yang mengharamkannya.


Di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja atau berbisnis. Di antara mereka ada yang bertani, beternak, mencari ikan, membuat berbagai macam makanan, membuat pakaian, membuat peralatan produksi. Setelah itu muncullah kebutuhan adanya alat tukar untuk berdagang. Alat tukar tersebut awalnya berbentuk barang, seperti kelapa, batu mulia, emas dan akhirnya berkembang seperti yang sekarang kita gunakan, yaitu uang. 

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh manusia, maka perkembangan ekonomi dan keuanganpun saat ini cukup pesat. Berbagai macam transaksi ekonomi dan keuangan yang ada saat ini sebagian merupakan hasil rekayasa ekonomi dan keuangan (financial engineering), maka diperlukan adanya  penelaahan yang mendalam untuk mengetahui hukum halal haramnya. Ada tiga langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan status hukum:
1)      memahami fakta atau masalah apa adanya (fahmul musykilah al qa’imah),
2)      memahami nash-nash syara’ (fahmun nushush asy-syar’iyah) yang berkaitan dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau memahami hukum-hukum syara’ (fahmu al ahkam asy syar’iyah) yang telah ada berkaitan dengan fakta tersebut (jika sudah ada hukumnya),
3)      mengistinbath (mengeluarkan) hukum dari nash dan menerapkannya pada fakta, atau menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.

Jika setelah dilakukan penelaahan, transaksi ekonomi/keuangan tersebut tidak ditemukan dalam Al Qur’an dan Al Hadits, Islam mengijinkan ahli hukum untuk berijtihad.
 
 Artinya: Dari beberapa orang shohabat Mu’adz bin Jabal yang berasal dari Himsha, ketika Rasululah saw berkehendak mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda:” Bagaimanakah kamu akan menghukumi ketika perkara hukum datang kepada mu?” Muadz menjawab:” Aku akan menghukumi dengan Kitabulloh. “Nabi bersabda:” Bagaimana jika kamu tidak menjumpai di dalam Kitabulloh ?” Muadz menjawab: ”Aku akan menghukumi dengan Sunnah Rasulillah saw.” Nabi bersabda: ”Bagaimana jika kamu tidak menjumpai di dalam Kitabulloh dan Sunnah Rasululloh saw?” Muadz menjawab: ”Saya akan berusaha keras dengan menggunakan kemampuan akal dan saya tidak peduli.” Maka Rasululloh memukul dadanya Muadz, seraya bersabda: “Segala puji bagi Allah Dzat yang telah menganugerahkan taufiq (ketepatan)  kepada utusan Rasululloh saw pada sesuatu yang menjadikan ridlonya Rasulillah saw”.

Artinya:Ketika seorang hakim menghukumi (sesuatu) lantas berijtihad kemudian
(ijtihadnya) benar maka baginya dua pahala, dan ketika dia menghukumi (sesuatu) lantas dia berijtihad kemudian(ijtihadnya) salah maka baginya satu pahala.

Penjelasan :
Maka baginya dua pahala yakni satu pahala ijtihadnya dan satu pahala benarnmya dalam berijtihad, Maka baginya satu pahala yakni pahala ijtihadnya saja.

Bersambung.

Sumber : Kajian Ilmu Ekonomi Syariah, KH. Kasmudi Assidiqi,SE,M.Ak. dan Dr. H. Ardito Bhinadi,SE,M.Si, Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Bandung, Tahun 2013.
 







0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Top