Manusia sebagai
makhluk hidup, untuk kelangsungan hidupnya harus bisa memenuhi kebutuhannya. Allah
sebagai pencipta manusia telah menyediakan kebutuhan mereka terhampar luas di muka bumi ini. Bahkan Allah telah menundukkan/memudahkan segala sesuatu yang ada di langit dan bumi untuk kepentingan manusia.
Meskipun demikian, karena segala sesuatu yang ada di muka bumi terbagi menjadi
dua yaitu ada yang baik dan ada yang buruk serta Allah telah menghalalkan yang
baik dan mengharamkan yang buruk, maka Allah mensyaratkan agar manusia mengambil yang baik dan meninggalkan yang
buruk. Allah telah berfirman:
Artinya: Dialah yang telah menciptakan apa-apa
yang ada di
bumi untuk kalian semua.
Artinya: Tidakkah kalian memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan/memudahkan untuk (kepentingan)
kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untuk
kalian nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa
Kitab yang memberi penerangan.
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah kalian dari (makanan) yang halal
lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah
syaitan; sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.
Artinya: Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah
diberikan Allah kepada kalian, dan syukurilah nikmat Allah jika kalian hanya
menyembah kepada-Nya.
Ayat-ayat di atas memberi petunjuk kepada kita bahwa untuk memenuhi
kebutuhan manusia, Allah telah menyiapkannya di bumi dan memudahkan manusia
untuk mendapatkannya. Surat Al-Baqarah ayat 29 dijadikan dasar oleh para ulama
bahwa ”segala sesuatu dari urusan dunia hukumnya halal kecuali jika ada
dalil yang mengharamkannya”
Allah menghendaki setiap manusia mengambil dan
memakan yang halal dan baik serta
menjauhi segala yang haram. Maka
dari itu Allah menjelaskan melalui lisan Rasul-Nya mana yang halal dan mana
yang haram. Perhatikanlah dalil-dalil dibawah ini.
Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “apakah yang dihalalkan untuk mereka?” Katakanlah telah dihalalkan untuk kalian semua yang baik...
Artinya:
Dan Dia menghalalkan untuk mereka semua yang baik dan mengharamkan kepada
mereka semua yang haram....
Artinya: Dari Nu’man bin Basyir, Rasululah saw bersabda:” Yang
halal itu jelas dan yang haram juga jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (yang belum
jelas halal dan haramnya). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara syubhat
yang dimungkinkan termasuk dosa, maka dia lebih meninggalkan terhadap yang
sudah jelas (haram dan dosanya), dan barangsiapa yang berani mengerjakan
perkara syubhat yang dimungkinkan termasuk dosa, maka ia hampir
saja terjatuh ke dalam perkara yang jelas (haram dan dosanya).
Artinya: Bersabda Nabi saw:” Yang halal adalah apa yang dihalalkan
Allah dalam KitabNya (Quran-Hadits)
dan yang harom adalah apa yang diharomkan Allah dalam kitabnya (Quran-Hadits) , dan apa-apa yang Allah diam darinya, adalah bagian dari yang Dia maafkan darinya”.
Penjelasan:
Artinya: Sesungguhnya sabda nabi:.......”Al Halal
adalah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya”. Pengertian sabda
beliau “fi kitabihi” itu tidak terbatas pada al Quran saja, akan tetapi lafal
al kitab itu meliputi semua yang diwahyukan kepada Nabi saw terdiri dari al Quran dan al
sunah bersama-sama, karena
sesungguhnya yang diwahyukan itu ada dua macam yaitu: 1. Wahyu yang dibacakan
dan 2. Wahyu yang tidak dibacakan sebagaimana yang telah dinukil oleh Dr. Abdul
Ghony Abdul Kholik dari al Baihaqy. Lihatlah kitab Hujiyatu-as sunah halaman
479. Tafsir Sunan Said bin Manshur Bab Fadhoil-al Quran jilid 2 halaman 327.
Artinya: Pada dasarnya semua bentuk muamalah itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja atau
berbisnis. Di antara mereka ada yang bertani, beternak, mencari ikan, membuat
berbagai macam makanan, membuat pakaian, membuat peralatan produksi. Setelah itu muncullah kebutuhan adanya alat
tukar untuk berdagang. Alat tukar tersebut awalnya berbentuk barang, seperti
kelapa, batu mulia, emas dan akhirnya berkembang seperti yang sekarang kita
gunakan, yaitu uang.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh
manusia, maka perkembangan ekonomi dan
keuanganpun saat ini cukup pesat. Berbagai macam
transaksi ekonomi dan keuangan yang ada saat ini sebagian merupakan hasil rekayasa
ekonomi dan keuangan (financial engineering), maka diperlukan
adanya penelaahan yang mendalam untuk
mengetahui hukum halal haramnya. Ada tiga langkah yang harus ditempuh dalam
menetapkan status hukum:
1)
memahami fakta atau masalah apa adanya (fahmul musykilah al qa’imah),
2)
memahami nash-nash syara’ (fahmun nushush asy-syar’iyah) yang
berkaitan dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau memahami
hukum-hukum syara’ (fahmu al ahkam asy syar’iyah) yang telah ada
berkaitan dengan fakta tersebut (jika sudah ada hukumnya),
3)
mengistinbath (mengeluarkan) hukum dari nash dan menerapkannya pada fakta,
atau menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.
Jika setelah
dilakukan penelaahan, transaksi ekonomi/keuangan tersebut tidak ditemukan dalam
Al Qur’an dan Al Hadits, Islam mengijinkan ahli hukum untuk berijtihad.
Artinya: Dari beberapa orang shohabat Mu’adz bin Jabal yang berasal dari
Himsha, ketika Rasululah saw berkehendak mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bersabda:” Bagaimanakah kamu akan menghukumi ketika perkara hukum datang kepada
mu?” Muadz menjawab:” Aku akan menghukumi dengan Kitabulloh. “Nabi bersabda:”
Bagaimana jika kamu tidak menjumpai di dalam Kitabulloh ?” Muadz menjawab: ”Aku
akan menghukumi dengan Sunnah Rasulillah saw.” Nabi bersabda: ”Bagaimana jika
kamu tidak menjumpai di dalam Kitabulloh dan Sunnah Rasululloh saw?” Muadz menjawab: ”Saya akan berusaha keras dengan menggunakan kemampuan akal dan saya tidak
peduli.” Maka Rasululloh memukul dadanya Muadz, seraya bersabda: “Segala puji
bagi Allah Dzat yang telah menganugerahkan taufiq (ketepatan) kepada utusan Rasululloh saw pada sesuatu
yang menjadikan ridlonya Rasulillah saw”.
Artinya:Ketika seorang hakim
menghukumi (sesuatu) lantas berijtihad kemudian
(ijtihadnya) benar maka baginya
dua pahala, dan ketika dia menghukumi (sesuatu) lantas dia berijtihad
kemudian(ijtihadnya) salah maka baginya satu pahala.
Penjelasan :
Maka baginya dua pahala yakni satu pahala ijtihadnya dan satu pahala
benarnmya dalam berijtihad, Maka baginya satu pahala yakni pahala ijtihadnya
saja.
Bersambung.
Sumber : Kajian Ilmu Ekonomi Syariah, KH. Kasmudi Assidiqi,SE,M.Ak. dan
Dr. H. Ardito Bhinadi,SE,M.Si, Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Dakwah Islam
Indonesia, Bandung, Tahun 2013.
0 komentar:
Posting Komentar