LDII

LDII
Official Website
Kamis, Agustus 13, 2009
4 komentar

DAKWAH DI ERA INFORMASI


-->


Disampaikan kepada peserta Workshop Internet Sehat
Di Bandung, 11 Agustus 2009
-->
Oleh :
DR. H.M. Hamdan Rasyid, MA.

Ketua MUI Prop. DKI Jakarta



Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta
Jakarta Islamic Centre (JIC) Jl. Kramat Jaya Tanjung Priok
Jakarta Utara Telp. (021) 44835249 Fax (021) 44835248
-->
A.
-->
A. A.A. Pendahuluan :

Dewasa ini kita hidup pada era informasi yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi komunikasi. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia mendapatkan berbagai kemudahan dan kesenangan hidup, karena hampir semua kebutuhan hidup mereka terutama yang bersifat lahiriah dapat dipenuhi dengan bantuan mesin dan robot. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi transportasi dan komunikasi telah mengantarkan manusia memasuki era globalisasi, suatu era dimana manusia mampu melakukan hubungan antarbangsa sejagat dalam berbagai segi kehidupan secara lebih luas, lebih mudah dan lebih cepat.
Berkat kemajuan teknologi transportasi, kontak langsung antarbangsa semakin sering terjadi sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran pikiran, gagasan serta saling mempengaruhi yang pada gilirannya dapat mengubah pola pikir dan pola tingkah laku masing-masing. Demikian juga, berkat kemajuan teknologi komunikasi yang menghantarkan manusia memasuki era informasi, dunia terasa kecil dan menjadi transparan. Semua kejadian di suatu negara, dalam waktu yang sama dapat diketahui oleh manusia sejagat. Hampir tidak ada rahasia suatu negara atau masyarakat yang tidak diketahui oleh negara atau masyarakat lain. Untuk menghadiri seminar internasional, orang tidak harus pergi meninggalkan negaranya masing-masing. Untuk belanja berbagai keperluan sehari-hari, orang tidak perlu keluar rumah dan membayar dengan uang kontan. Begitu canggihnya sistem perdagangan dan pembayaran, orang dapat bepergian kemana saja dan membeli apa saja tanpa membawa uang tunai, tetapi cukup dengan membawa bank card. Perkembangan teknologi yang sangat pesat sejak dasawarsa 70-an telah menimbulkan revolusi informasi yang melanda semua bangsa, baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang tanpa menghiraukan apakah masyarakatnya sudah siap menerima perubahan yang sedemikian cepat atau tidak.
Dewasa ini dampak teknologi informasi semakin terasa. Perkembangan dunia internasional baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial budaya secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia. Arus informasi, baik positif maupun negatif telah menembus batas-batas negara, bahkan menembus dinding-dinding rumah tangga kita. Jika kita tidak siap menghadapinya, dapat dipastikan akan menimbulkan malapetaka. Karena melalui teknologi komunikasi seperti radio, televisi, video, internet dan yang lain, sangat memungkinkan terjadinya penyebaran nilai-nilai baru yang dapat menggoyahkan nilai-nilai yang selama ini dianggap baku, termasuk nilai-nilai agama. Demikian juga melalui teknologi komunikasi, kebiasaan-kebiasaan buruk suatu masyarakat seperti penyalah-gunaan narkoba, alat kontrasepsi, minuman keras dan pergaulan bebas akan berdampak negatif terhadap masyarakat Indonesia.
B. B. B. Problematika Masyarakat Dunia
Ditinjau dari aspek sejarah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengantarkan manusia menuju era informasi pada saat sekarang ini, bermula dari revolusi ilmu pengetahuan pada akhir abad XV Masehi, yang ditandai oleh kemenangan rasionalisme[1] dan empirisme[2] terhadap dogmatisme agama di Barat.[3] Perpaduan rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi, telah melahirkan apa yang disebut dengan metode ilmiah. Dengan metode ilmiah, kebenaran pengetahuan hanya diukur dengan kerangka pemikiran yang koheren dan logis serta dapat dibuktikan melalui pengujian secara empirik. Dengan kata lain, suatu pengetahuan baru diakui kebenarannya secara ilmiah jika secara logika bersifat koheren (runtut) dengan kebenaran sebelumnya dan didukung oleh fakta empirik.[4]
Kepercayaan yang terlalu berlebih-lebihan terhadap kebenaran rasionalisme dan empirisme sebagai metode ilmiah, menyebabkan masyarakat Barat kurang apresiatif terhadap pengetahuan yang berada di luar lingkup pengujian metode ilmiah, termasuk di dalamnya pengetahuan dan nilai-nilai religius.[5] Akibatnya, muncullah faham sekularisme, yaitu faham yang memisahkan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai religius. Hal ini dapat dimengerti karena sejak awal kelahirannya, rasionalisme memang merupakan suatu bentuk “pembangkangan” terhadap tradisi Kristen yang mengungkung pemikiran manusia.
Akibat penggunaan akal yang terlalu berlebihan dengan mengesampingkan dimensi spiritual dan nilai-nilai agama, maka kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menimbulkan persoalan serius bagi kehidupan manusia di era informasi. Antara lain adalah :
Pertama, hilangnya orientasi hidup yang bermakna dan pegangan moral yang kokoh. Pada umumnya, masyarakat dunia yang hidup di era informasi dewasa ini tidak tahu lagi, untuk apa mereka dihidupkan, sebagaimana mereka juga tidak tahu bahwa sesudah mati mereka akan dibangkitkan kembali untuk dimintai pertanggung-jawaban dan menerima balasan dari amal perbuatan mereka di alam dunia. Mereka tidak lagi mengenal Allah SWT sebagaimana mereka juga tidak mau tahu tentang ajaran-ajaran agama yang mengatur kehidupan mereka. Tujuan hidup mereka hanya terbatas pada pencapaian sasaran-sasaran yang bersifat material dan duniawi. Yang terpenting bagi mereka adalah bekerja, mencari uang dan bersenang-senang. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur, yang ada dalam benak mereka adalah bekerja dan mencari uang, tidak peduli apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Sesudah itu mereka mencari kesenangan-kesenangan untuk memperturutkan hawa nafsunya dengan berjudi, mengunjungi diskotik, bar, night club, mengkonsumsi minuman keras, berzina dan sebagainya. Akibatnya, dibalik gemerlapnya kemajuan hal-hal yang bersifat materi yang sangat memukau, masyarakat dunia dewasa ini menghadapi gejala yang dinamakan the agony of modernization (adzab atau kesengsaraan yang disebabkan oleh modernisasi). Gejala the agony of modernization yang merupakan ketegangan psikososial, dapat dibuktikan dengan semakin meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan tindak kekerasan, perkosaan, pembunuhan, perjudian, penyalah-gunaan obat/narkotika/minuman keras, kenakalan remaja, promiskuitas, prostitusi, bunuh diri, ganguan jiwa dan lain sebagainya.[6] Hal ini bukan hanya dialami oleh masyarakat di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan negara-negara Eropa, tetapi juga telah menimpa sebagian masyarakat Indonesia.
Kedua, terjadinya pergeseran tata nilai, dari tatanan kehidupan yang bertumpu pada nilai-nilai spiritual beralih pada pola hidup materialistik, hedonistik, bahkan sekularistik. Hasil penelitian tentang kehidupan masyarakat industri Barat telah menggoreskan catatan-catatan yang antara lain adalah sebagai berikut : “Proyek-proyek industri selalu menghasilkan kemudahan-kemudahan dan kenikmatan-kenikmatan. Akan tetapi manusia harus menempatkan diri sebagai bagian dari mesin yang didesain secara rasional menurut hukum fisika. Mereka lebih banyak bergaul dengan mesin-mesin. Dalam pekerjaan seperti ini mereka merasa tidak memerlukan agama sehingga menjadi agnostic, bahkan atheistic. Konsekwensinya, pandangan hidup mereka menjadi sekuler”.[7]
Pergeseran tata nilai sebagaimana yang dialami masyarakat industri Barat tersebut, kini mulai terasa pada sebagian masyarakat Indonesia. Antara lain tercermin pada hal-hal sebagai berikut :
1. Semakin berkembangnya pandangan dan orientasi hidup materialistik. Akibatnya, terjadilah pergeseran pola hidup dari pola hidup sederhana dan produktif kepada pola hidup mewah dan konsumsif untuk mengejar kepuasan hedonistik sesaat. Untuk memenuhi nafsunya terhadap materi, sebagian bangsa Indonesia tidak segan-segan melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).[8]
2. Semakin mencairnya nilai-nilai agama, kaidah-kaidah sosial dan susila. Orang tidak lagi merasa takut berbuat dosa dan melanggar hukum sehingga dengan tanpa beban melakukan berbagai kejahatan (crime) seperti pembunuhan dan perkosaan, penodongan dan penjambretan, pencurian dan perampokan, perjudian, perkelahian antarpelajar, tawuran antarwarga masyarakat dan sebagainya. Mereka juga tidak merasa malu melakukan perzinaan dan kumpul kebo (free sex), menenggak minuman keras (alcoholism), menyalahgunakan narkotika dan obat-obatan terlarang (drug abuse) dan berbagai perbuatan maksiat lainnya. Bahkan yang lebih menyedihkan, mereka merasa bangga dalam melakukan berbagai perbuatan maksiat tersebut. Akibatnya, banyak di antara anak-anak Indonesia yang menjadi korban narkoba dan melakukan praktek aborsi[9] serta tidak sedikit di antara mereka yang terserang virus HIV/AIDS.
3. Semakin berkembangnya sikap serba boleh dalam masyarakat (permissive society) sehingga mereka cenderung membiarkan terjadinya berbagai pelanggaran hukum agama dan norma-norma susila. Mereka mulai meragukan lembaga perkawinan dan cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah.
4. Semakin berkembangnya sikap individualis bahkan egois, karena dengan alat-alat elektronik mereka merasa bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Akibatnya, hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang semula erat dan kuat, kini cenderung menjadi longgar dan rapuh. Struktur keluarga yang semula extended family cenderung ke arah nuclear family bahkan sampai kepada single parent family.
Ketiga, timbulnya perasaan terasing (alienasi), frustasi, dan kehampaan eksistensi. Akibat dari hilangnya orientasi hidup yang bermakna karena hanya berorientasi pada dunia materi, maka manusia modern banyak mengalami keterasingan diri (self alienation), frustasi, dan kehampaan eksistensi.[10] Sebagaimana dikatakan oleh Alvin Toffler, bahwa di antara gejala-gejala negatif yang muncul di kalangan masyarakat industri maju (modern) adalah timbulnya rasa kesepian, hilangnya struktur masyarakat yang kukuh, dan ambruknya makna yang berlaku.[11] Pengertian alienasi sebagaimana dijelaskan Eric Fromm, seorang ahli psikoanalisis adalah sebagai berikut :
“Alienasi yang kita temukan dalam masyarakat modern adalah hampir total; ia meliputi hubungan manusia dengan pekerjaannya, ke benda-benda yang ia konsumsi, ke negara, ke sesamanya, dan ke dirinya sendiri. Manusia telah menciptakan suatu dunia dari barang-barang buatan manusia yang tidak pernah ada sebelumnya. Ia telah membangun permesinan sosial yang ruwet untuk mengatur permesinan teknis yang ia bangun. Namun seluruh kreasinya itu tegak di atas dan mengatasi dirinya sendiri. Semakin kuat dan besar kekuatan yang ia lepaskan, semakin ia merasa dirinya tak berdaya sebagai manusia. Ia menghadapi dirinya sendiri dengan kekuatan dirinya yang dikandung dalam benda-benda yang ia ciptakan, yang terasing dari dirinya sendiri. Ia telah dikuasi oleh kreasinya sendiri, dan telah kehilangan kekuasaan terhadap dirinya sendiri. Ia telah membuat sebuah patung anak sapi emas dan berkata”inilah dewamu yang membawa kamu keluar dari Mesir”.[12]
Alienasi yang menimpa masyarakat modern telah menimbulkan rasa kesepian yang mencekam sehingga mereka merindukan perkawanan yang akrab dan hangat serta mendambakan penjelasan tentang apa tujuan hidup dan akan kemana sesudah manusia meninggal dunia. Dalam keadaan demikian, maka orang-orang modern yang merasa kesepian mulai tertarik kepada kultus-kultus, yaitu bentuk-bentuk gerakan spiritual (dan keagamaan) yang menawarkan persahabatan sejati dan kehidupan bersama yang akrab dan hangat. Kehangatan dan perhatian yang tiba-tiba antar sesama anggota kultus ini sedemikian kuatnya memberi rasa kebaikan kepada mereka sehingga seringkali mereka bersedia untuk memutuskan hubungan dengan keluarga dan teman-teman lama mereka, serta untuk mendermakan penghasilannya kepada kultus. Kadang-kadang mereka menerima narkotika dan bahkan seks sebagai imbalannya. Seperti yang dilakukan oleh sekte Children of God beberapa waktu lalu yang melakukan pesta seks di antara sesama anggota.
Kultus bukan sekedar perkumpulan, karena ia juga menawarkan struktur yang banyak dibutuhkan di samping menyodorkan ketentuan-ketentuan yang ketat pada tingkah laku. Mereka menuntut dan menciptakan disiplin yang sangat kuat, pengorganisasian yang sangat ketat, absolutistik dan dengan sendirinya kurang toleran kepada kelompok lain. Bahkan sebagian bertindak begitu jauh sehingga memaksakan disiplin melalui penyiksaan, kerja paksa dan bentuk-bentuk kurungan serta penjara yang mereka buat untuk diri mereka sendiri. Lebih dari itu, tidak jarang mereka melakukan bunuh diri bersama seperti yang dilakukan oleh sekitar 235 orang anggota sekte Pemujaan Hari Kiamat (sekte Pemulihan 10 Perintah Tuhan) di bawah pimpinan Joseph Kibwetere di sebuah Gereja di Kanungu, distrik Rukingire yang terletak sekitar 320 kilometer Baratdaya Kempala, Ibukota Negara Uganda pada hari Jum’at 17 Maret 2000 dengan cara melakukan bakar diri. Pimpinan sekte ini menyatakan, bahwa dunia akan berakhir pada 31 Desember 1999 tapi akhirnya mengubah ajarannya menjadi akhir tahun 2000. Sebelum melakukan bakar diri, para anggota sekte menjual seluruh harta bendanya di pusat perdagangan Kanungu sebagai persiapan kematian mereka.[13]
Kultus biasanya berpusat pada ketokohan seorang pribadi yang menarik, berdaya pikat retorik yang memukau dan dengan sederhana namun penuh keteguhan menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan. Contoh gerakan kultus yang paling sering disebut adalah Unification Church, Divine Light Mission, Hare Krishna, The Way, People’s Temple, Yahweh ben Yahweh, New Age, Aryan Nation, Christian Identity, The Order, Scientology, Jehovah Witnesses, Children of God, Gerakan Bhagwan Shri Rajneesh dan lain-lain. Semuanya di Amerika, namun hal serupa dan yang analog dengan itu juga muncul dimana-mana, termasuk akhir-akhir ini di Indonesia. [14]
Keempat, terjadinya perobahan sosial yang sangat drastis di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut :
1. Meningkatnya kebutuhan hidup. Kalau pada masyarakat agraris tradisional, manusia sudah merasa cukup apabila telah tercukupi kebutuhan primernya seperti sandang, pangan dan papan (perumahan), maka pada masyarakat modern, kebutuhan primer tersebut berubah menjadi suatu prestise yang bersifat sekunder. Akibatnya, kehidupan orang-orang modern selalu dikejar-kejar waktu untuk mengejar materi dan prestise. Segala upaya akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya tadi sehingga terkadang harus melanggar norma-norma yang ada seperti korupsi, kolusi dan manipulasi dengan mengorbankan orang lain. Semua ini akan membawa mereka kepada hidup seperti mesin yang tidak mengenal istirahat. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya kegelisahan (anxiety) yang tidak jelas ujung pangkalnya sehingga menghilangkan rasa bahagia dalam hidup.
2. Timbulnya rasa individualis dan egois. Karena kebutuhan sekunder meningkat, maka berkembanglah rasa asing dan terlepas dari ikatan sosial. Orang lebih memikirkan diri sendiri dari pada orang lain. Urusan orang lain tidak lagi menjadi perhatiannya sehingga mereka akan merasa kesepian dalam hidup ini. Semua hubungan dengan orang lain didasarkan pada kepentingan, bahkan motif profit (motif keuntungan), bukan hubungan persaudaraan yang didasarkan pada rasa kasih sayang dan saling mencintai. Seperti hubungan bawahan dengan atasan, dokter dengan pasien, buruh dengan majikan, dosen dengan mahasiswa dan sebagainya.
3. Persaingan dalam hidup. Berangkat dari adanya kebutuhan yang meningkat, yang membawa manusia modern kepada hidup yang mementingkan diri sendiri, maka terjadilah persaingan dalam hidup. Persaingan itu didorong oleh prestise yang tinggi sehingga terjadilah hal-hal yang tidak sehat, seperti memfitnah orang lain, menjatuhkan teman atau menyengsarakannya, bahkan menjerumuskannya ke penjara dan membunuhnya semata-mata untuk meraih keuntungan pribadi. Akibatnya, kehidupan sosial menjadi berantakan, dan persahabatan berubah menjadi permusuhan.[15]
C. C. C. Strategi Dakwah
Agar masyarakat dunia yang hidup di era informasi dewasa ini dapat mengatasi berbagi macam problematika yang mereka hadapi dan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit jiwa yang mereka derita, maka para ulama dan da’i harus menyusun strategi dakwah yang dapat memberikan terapi terhadap penyakit yang diderita oleh masyarakat modern.
Pada dasarnya, dakwah adalah suatu ajakan atau seruan untuk memahami, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata sehingga tercipta kebahagiaan hidup yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat (sa’adatu al-darain). Dalam bukunya Tadzkirat al-Du'at, Bahi al-Huli mendefinisikan dakwah sebagai "upaya memindahkan manusia dari satu situasi kepada situasi yang lebih baik".[16] Pemindahan situasi ini mengandung makna yang sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum, politik, sains, teknologi dsb. Berdasarkan definisi tersebut, maka dakwah merupakan proses pemberdayaan individu dan masyarakat untuk melakukan pemindahan atau perubahan situasi, dari kebodohan kepada keilmuan, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dari kemiskinan kepada kehidupan yang sejahtera, dari permusuhan dan perpecahan kepada kasih sayang dan persatuan, dari kekacauan kepada keteraturan, dari suasana mencekam kepada suasana sejuk, damai dan tenteram.
Menurut Syekh Ali Mahfudz dalam bukunya Hidayatu al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa'dli wa al-Khithabah, dakwah adalah; "mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk serta menyeru untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah dari perbuatan buruk (amar ma'ruf nahi munkar) agar mereka mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat".[17] Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami, bahwa pada hakikatnya dakwah adalah segala aktivitas yang bertujuan mengajak orang lain melakukan perubahan dari situasi yang mengandung nilai tidak islami kepada kehidupan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, baik dalam bidang akidah, syariah, maupun akhlak.
Pada hakikatnya, dakwah adalah panggilan Allah dan Rasul-Nya, panggilan yang membawa kepada upaya untuk menghidupkan dan memberdayakan. Bukan panggilan yang merugikan, tetapi panggilan kepada kehidupan lahir dan batin; maju setingkat demi setingkat menuju kemenangan dan kejayaan.[18] Oleh karena itu, dakwah harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan santun sehingga menimbulkan simpatik dan respon positif dari individu atau masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Bukan dilakukan dengan tekanan, paksaan, intimidasi, provokasi atau kekerasan yang justru menimbulkan antipati. Bukan pula dengan bujukan, rayuan, tipuan, dsb.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat dunia yang semakin komplek akibat arus informasi beserta perkembangan sains dan teknologi yang dihasilkannya, maka aktivitas dakwah harus dilakukan secara profesional dengan memperhatikan skill, planning dan manajemen yang handal. Untuk itu, para da'i dan muballigh harus memiliki kesiapan mental, kekuatan stamina dan keluasan pengetahuan sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara prima, khususnya mengenai kondisi obyek atau sasaran dakwah serta strategi yang tepat untuk diterapkan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa masyarakat dunia yang akan menjadi obyek dakwah (المدعو) pada umumnya memiliki karakteristik rasional, mobile, individual, materialis dan sekularistik. Sehubungan dengan hal tersebut, maka strategi dakwah dalam menghadapi era informasi harus diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai positif masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam, serta mengeliminir bahkan menghapuskan nilia-nilai negatif yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena dalam realitasnya, tidak seluruh karakteristik masyarakat modern dewasa ini bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam beberapa hal dan pada batas-batas tertentu, karakteristik-karakteristik tersebut juga sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.
Di antara nilai-nilai positif masyarakat modern yang hidup di era informasi yang perlu dikembangkan dalam dakwah adalah sbb. :
1. Pemikiran dan sikap rasional :
Masyarakat modern cenderung menjunjung tinggi kedudukan akal dan meyakini bahwa dengan akalnya manusia mampu menundukkan alam semesta serta mengatur kehidupan di dunia. Berkat pemikiran rasionalnya, maka pada abad ke-20 ini masyarakat modern berhasil mewujudkan berbagai prestasi ilmiah, baik secara teori maupun praktek yang belum pernah diraih umat manusia pada abad-abad sebelumnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat di seluruh bidang kehidupan, terutama bidang transportasi dan informasi sehingga mengantarkan umat manusia memasuki era globalisasi.
Pemikiran dan sikap rasional sangat dianjurkan oleh ajaran Islam.[19] Al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam sangat menghargai kedudukan akal sebagai alat berpikir rasional. Di dalam al-Qur'an kata 'aqal (عقل) dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 49 kali.[20] Di antaranya; أفلا تعقلون (tidakkah kamu memikirkan) disebut sebanyak 15 kali; ) لعلكم تعقلونagar/semoga kamu memikirkan) 8 kali; ) لايعقلونmereka tidak memikirkan) 7 kali; إن كنتم تعقلون (jika kamu memikirkan) 2 kali. Selain mengggunakan kata-kata yang berasal dari akar kata 'aqal (عقل), al-Qur'an juga menggunakan kata-kata yang berasal dari akar kata تفكر (memikirkan) sebanyak 16 kali,[21] دبر (merenungkan) sebanyak 8 kali,[22] نظر(melihat dalam arti merenungkan) sebanyak 30 kali,[23] فقه (mengerti) sebanyak 20 kali.[24] Hal ini menunjukkan, bahwa Al-Qur'an sangat menghargai kedudukan akal dan memerintahkan manusia agar menggunakan daya nalarnya untuk berpikir dan bersikap rasional. Sungguh pun demikian, pada saat yang sama Al-Qur'an mewajibkan mereka mendasarkan pemikiran rasionalnya pada wahyu.[25] Dengan demikian, aktivitas dakwah harus mampu memotivasi umat Islam menggunakan daya nalarnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengembangkan kreatifitasnya untuk mencari solusi terhadap berbagai problematika yang dihadapi umat manusia dengan tetap berpedoman pada ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan hidup yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Disiplin dan Etos Kerja Yang Tinggi
Di antara nilai-nilai positif masyarakat modern yang perlu dikembangkan dalam dakwah adalah sikap disiplin dan etos kerja yang tinggi. Disiplin adalah suatu sikap atau tingkah laku yang menggambarkan kepatuhan seseorang atau suatu anggota masyarakat kepada aturan-aturan, ketentuan-ketentuan, tata tertib, hukum atau norma-norma, baik yang timbul dari kesepakatan bersama atau dari pihak luar.[26]
Selain disiplin, masyarakat modern juga menjunjung tinggi etika dan etos kerja. Etika kerja adalah suatu ajaran tentang norma-norma bagi tindakan dan perbuatan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Etika kerja membahas tentang makna kerja bagi kehidupan, baik dan buruk, serta manfaat dan bahaya suatu sikap dan tindakan. Sedangkan etos kerja adalah suatu pandangan yang khas terhadap makna kerja pada suatu golongan sosial atau masyarakat tertentu, dan apabila dikaitkan dengan suatu profesi tertentu biasa disebut dengan kode etik profesi. Etos kerja bersumber dari nilai-nilai filosofis, nilai-nilai religius dan nilai-nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat yang berfungsi dalam memberikan motivasi, dorongan dan semangat kerja bagi suatu masyarakat.
Dalam batas-batas tertentu, disiplin dan etos kerja yang dikembangkan oleh masyarakat modern sangat sesuai dengan ajaran Islam. Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar bersikap disiplin dengan mematuhi aturan-aturan, hukum-hukum dan norma-norma yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, seluruh aspek ajaran Islam mengandung pelajaran tentang disiplin.[27]
Sedangkan di antara nilia-nilai negatif masyarakat modern yang bertentangan dengan ajaran Islam dan harus dieliminir, bahkan dihapuskan oleh dakwah Islam adalah sbb.
1. Kebebasan tanpa batas
Masyarakat modern yang dibentuk oleh peradaban barat sangat menghormati kebebasan individu. Setiap individu memiliki kebebasan tanpa batas, kecuali jika bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Mereka menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap individu memiliki kebebasan dalam menikmati haknya di alam demokrasi. Mereka bebas memilih penguasa, meminta pertanggung jawaban kinerjanya, dan kalau perlu menurunkannya jika terbukti melanggar konstitusi.
Penghormatan terhadap hak-hak individu dan kebebasan mutlak yang mengkristal dalam jiwa orang-orang modern telah berubah menjadi liberalisme, karena setiap individu bebas melakukan apa saja yang dikehendaki, sekalipun perbuatan tersebut membahayakan diri dan orang lain atau bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran agama. Akibat dari faham liberalisme yang berkembang, maka manusia bebas mengkonsumsi minuman keras, pil ekstasi atau narkotika; bebas memproduksi dan mempertontonkan film-film porno serta melakukan perbuatan asusila; laki-laki dan perempuan bebas bertelanjang di jalan-jalan umum, berganti-ganti pasangan, melakukan perbuatan zina dan penyelewengan, bahkan melakukan perkawi-nan sejenis.[28] Perempuan bebas melakukan aborsi terhadap janinnya, karena janin merupakan bagian dari tubuhnya, sedangkan ia bebas melakukan apa saja terhadap tubuhnya sendiri.
Agama Islam memang memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan apa saja, akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh kebebasan orang lain (حرية المرء محدودة بحرية الغير) dan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab serta tidak boleh melampaui ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Karena kelak di akhirat, manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas seluruh amal perbuatan yang dilakukan selama hidup di alam dunia.
2. Pandangan Hidup Materialis dan Sekuler
Pada umumnya, masyarakat modern berpandangan hidup materialisme dan sekuler karena mereka dibentuk oleh peradaban barat modern yang berdiri pada akar-akar peradaban Yunani dan Romawi kuno yang materialistik dan sekuler. Di samping itu, peradaban modern juga dibangun di atas landasan kebencian dan dendam kepada pihak gereja (agama) yang sangat kejam terhadap para ilmuan dan kaum intelek yang memperjuangkan pembaharuan dengan membunuh dan membakar mereka hidup-hidup. Akibatnya mereka membenci kepercayaan, kebudayaan, ilmu dan moral para tokoh gereja.
Pandangan hidup materialistik bersumber dari aliran pemikiran materialisme, yaitu suatu aliran pemikiran yang hanya mempercayai segala sesuatu yang terkait dengan materi kebendaan.[29] Aliran ini mengingkari hal-hal yang bersifat metafisis dan ghaib, seperti adanya Tuhan Pencipta alam; Rasul yang menerima wahyu; ruh manusia yang bersifat abadi; kehidupan di alam akhirat sesudah kehidupan di alam dunia; dan nilai-nilai ideal yang besifat abstrak, karena semua ini tidak dapat diobservasi oleh pancaindra dan berada di luar jangkauan metode ilmiah emperisme dan rasionalisme.[30] Dengan kata lain, peradaban modern adalah suatu peradaban yang dibangun di atas pemikiran materialisme yang mengabaikan spiritualitas; hanya mengakui hal-hal yang bersifat fisik dan mengingkari hal-hal yang bersifat metafisis; serta bersifat realistis yang tidak mempercayai idealisme. Akibatnya alam, ilmu pengetahuan dan moral diinterpretasikan dengan pemahaman materialisme.
Di samping bersifat materialistik, masyarakat modern juga bersifat sekuler yaitu memisahkan ajaran agama dari kehidupan sosial dan negara.[31] Menurut pandangan mereka, agama adalah hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang tempatnya ada di dalam hati sanubari. Oleh karena itu, agama ditinggalkan dalam pembuatan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah atau negara. Ajaran-ajaran agama dan hukum-hukumnya tidak boleh diterapkan pada institusi-institusi yang mengatur masyarakat; pendidikan, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, manajemen dan hukum.
Kondisi seperti yang digambarkan di atas tidak berarti bahwa seluruh masyarakat saat ini berada dalam kondisi demikian. Beberapa lapisan masyarakat bahkan masih berada pada level primitif. Demikian pula ada sekelompok masyarakat yang telah melampaui taraf modern dan telah menemukan arus baru (post modern dll). Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi modern sebagaimana yang telah digambarkan di atas saat ini masih mengungkung sebagian besar masyarakat dunia, atau trend-nya menuju pada kondisi seperti itu, bahkan di negara-negara yang secara terang-terangan menolak materialisme, sekularisme, liberalisme dan paham-paham negatif lainnya, termasuk Indonesia.
Uraian di atas menggambarkan, bahwa agenda dakwah tidak boleh serta merta menolak kebudayaan modern secara keseluruhan. Akan tetapi, yang perlu dilakukan adalah penyesuaian-penyesuaian sehingga dampak positif kebudayaan modern tetap dapat dinikmati, sementara dampak negatifnya dihilangkan. Selain itu, cara ini akan lebih meminimalkan penolakan dan gejolak sosial di samping juga sesuai dengan prinsip tadarruj seperti yang telah diajarkan Allah dalam sejarah dakwah para Nabi.
Dalam sejarah para nabi (dan para wali) kita dapat menemukan bahwa efektivitas dakwah para nabi (anbiya) dan para wali (aulia) salah satunya ditentukan oleh metode atau strategi dakwah yang mereka gunakan. Hampir semua nabi dan wali tidak melakukan revolusi besar-besaran terhadap nilai-nilai yang berkembang di masyarakatnya. Mereka melakukan perubahan dengan perlahan-lahan tetapi kontinyu; damai meskipun tegas. Mereka juga memanfaatkan kebudayaan masyarakatnya untuk mengubah kebudayaan itu sendiri. Nabi Ibrahim misalnya, memperalat berhala yang besar untuk menghilangkan kepercayaan terhadap berhala. Nabi Sulaiman menggunakan teknologi untuk mengalahkan teknologi Balqis, dan lain-lain.



[1] Rasionalisme adalah suatu metodologi ilmiah yang mendasarkan pada pemikiran secara rasional (معقول). Metode ini dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 - 1650 ) dari Perancis dan John Locke (1632 - 1704) dari Inggeris.
[2] Empirisme adalah suatu metodologi ilmiah yang mendasarkan pada pengalaman dengan cara melakukan percobaan-percobaan (experiment) secara obyektif dan berulang-ulang serta akhirnya menghasilkan kesimpulan yang sama walaupun dilakukan oleh banyak orang. Kebanyakan orang Barat mengklaim bahwa empirisme sebagai suatu metodologi ilmiah berasal dari Roger Bacon (1214 - 1294) dan Francis Bacon (1561 - 1627), keduanya dari Inggris. Akan tetapi Prof. J.W. Draper, Ph. D., M.D., Ll.D. dalam bukunya History of the Conflict between Religion and Science 6th printing, London 1866, dan Robert Brifault dalam bukunya The Making of Humanity, London, 1919 esp. h. 202 mengungkapkan, bahwa Roger Bacon dan Francis Bacon, keduanya telah melakukan plagiat.
[3]F.B. Burnham, Postmodern Theology, (Harper & Row Publisher, 1989), h. ix
[4]Jujun S. Surissumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), h. 10
[5] T.G. Masaryk, Modern Man and Religion, (Westport Connecticut: Green Wood Press Publisher, 1970), h. 55
[6] Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2001), cetakan X, h. 3
[7]H. Kafrawi Ridwan, Metode Dakwah Pada Masyarakat Industri, (Jakarta: Indotrayon, 1987), h. 8
[8] Sejak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) didirikan melalui Keputusan Presiden (keppres) Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983 hingga periode Maret 1997, BPKP telah berhasil mengungkapkan berbagai penyimpangan keuangan negara sebesar Rp. 12,28 trilyun. Dari jumlah tersebut, sebesar 7,89 trilyun (64,30 %) telah ditindak lanjuti oleh pimpinan instansi terkait. Lihat, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, (Jakarta: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 1999), h. 279.
[9] Menurut laporan Prof. Biran Affandi dari Bagian Obstetri dan Ginokologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam Pertemuan Koordinasi ke-23 Kesehatan Reproduksi (Safe Motherhood) di Jakarta, bahwa di Indonesia sedikitnya setiap tahun terjadi 2,1 juta kasus aborsi (calon bayi yang digugurkan). Lihat Majalah Tempo, edisi 4 Pebruari 2001, h. 92.
[10] Allen E. Bergin, "Psikoterapi dan Nilai-nilai Religius", dalam 'Ulum al-Qur'an, No. 4, Volume V. 1994, h. 5
[11] Alvin Toffler, The Third Wave, (New York: Bantam Books, 1990), h. 374
[12] Eric Fromm, The Sane Society, (New York: Holt, Reinehart and Winston, 1964), h. 124
[13] Harian Umum Republika, (Jakarta), Senin, 20 Maret 2000/14 Dzul Hijjah 1420, h. 1
[14] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 128
[15] Zakiah Darajat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1992), h. 10 - 14
[16] Bahi al-Khuli, Tadzkirat al-Du'at, (Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1952), h. 27; Quraish Shuhab; Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, Cet. II, 1992), h. 194.
[17] Syekh Ali Mahfudz, Hidayatu al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa'dli wa al-Khithabah,(Beirut: Daar al-Ma'rifah, t.th.) h. 17.
[18] Mohammad Natsir, Fiqh al-Dakwah; Jejak Risalah dan Dasar-Dasar Dakwah, (Jakarta: Yayasan Capita Selecta, Cet. X, 1996), h. 33.
[19]Dalam Sistem Teologi Islam, terdapat aliran Mu'tazilah yang dikenal sangat rasional. Aliran ini sangat menghargai kedudukan akal dan menempatkan akal pada posisi yang sangat tinggi. Menurut aliran ini, akal mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan dinamika pemahaman ajaran Islam. Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akalnyalah maka manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan makhluk lain tersebut. Lihat, Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 80.
[20]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfadz al-Qur'an al-Karim, (Beirut: Daar al-Fikr, 1992/1412), h. 594 - 595.
[21]Ibid. h. 664.
[22]Ibid. h. 320-321
[23]Ibid. h. 876-878.
[24]Ibid. h. 666-667.
[25]Untuk mengkaji lebih jauh tentang kedudukan akal dan wahyu, dapat dibaca buku-buku yang ditulis oleh Prof.Dr. Harun Nasution. Antara lain Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1983), Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983) dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987).
[26]Menurut Webster's Third New International Dictionary, disiplin antara lain diberi arti sebagai berikut; a). behavior in accordance with the rule; b). systematic, willing, and purposeful attention to the performance of assigned tasks; c). control gained by enforcing obedience or order d). prompt and willing obedience to the orders of superiors.
[27]Untuk menanamkan disiplin pada seseorang sehingga dalam dirinya terbentuk sikap disiplin, dapat ditempuh melalui tiga pendekatan atau metode sebagai berikut; a). Conditional approach, yakni menciptakan suatu kondisi sehingga seseorang atau suatu masyarakat mau tidak mau harus melaksanakan kegiatan (sikap disiplin) yang diharapkan seperti dengan menegakkan law enforcement; b). Cultural approach, yaitu mempengaruhi seseorang atau suatu masyarakat dengan memberikan uraian atau penjelasan tentang manfaat, kebaikan dan kehebatan disiplin. Jika seseorang atau suatu masyarakat menerapkan sikap disiplin, maka mereka akan mendapatkan keberhasilan, keberuntungan dan kebahagiaan; c). Habituation approach yaitu membiasakan seseorang atau suatu masyarakat untuk melaksanakan sikap disiplin.
[28]Konferensi Internasional tentang Penduduk dan Pembangunan yang diselenggarakan di Kairo Mesir pada tanggal 5 s.d. 13 September 1994 di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dan Konferensi Perempuan di Peking yang berlangsung pada tahun 1995 telah menghasilkan keputusan yang sangat kontroversial, yaitu diperbolehkannya perkawinan sejenis dan aborsi secara mutlak.
[29]Peradaban Barat Modern dibangun di atas landasan filsafat (aliran pemikiran) materialisme yang dikembangkan oleh Rene Descartes, Francis Bacon dan August Comte. Secara garis besar, materialisme terbagi menjadi dua, yaitu; a). Mechanistie Materialisme yang sama sekali tidak mengakui adanya ruh atau akal yang bersifat abstrak; b). Dialecae Materialisme yang mengakui adanya ruh dan akal, tetapi keberadaannya mengikuti materi. Dengan demikian, kedua aliran ini mengingkari adanya hal-hal yang bersifat ghaib. Lihat Dr. Al-Bahi, Al-Fikr al-Islami al-hadits Wa Shillatuhu Bi al-Isti'mar al-Gharbi, (Kairo: Daar al-Syuruq,tt) h. 86.
[30]Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Islam Peradaban Masa Depan, Ibid, h. 23.
[31]Sekuler berasal dari bahasa Inggris secular yang berarti unreligous. Dalam bahasa Arab disebut علمانية yang berarti فصل الدين عن الدولة (memsisahkan agama dari negara). Lihat Dr. Ali Muhammad Juraisyah dan Muhammad Syarif al-Zubaiq, Ibid, h. 59 - 60.
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Semoga kita sama-sama bisa mengerjakan amalan baik ini, amiiin.

    BalasHapus
  3. Tidak dapat dipungkiri di era Informasi kita harus menggunakan Internet sebagai media Da'wah. Saya sependapat dengan Ketua MUI Prop. DKI Jakarta, Bapak DR. H.M. Hamdan Rasyid, MA.

    BalasHapus

 
Toggle Footer
Top