LDII

LDII
Official Website
Jumat, Juli 11, 2014
0 komentar

Pelajaran Berharga untuk Nabi Musa a.s



Nabi Musa a.s merasa dirinya paling pandai dan banyak ilmu di muka bumi. Dengan sikapnya itu Allah memperingatkan bahwa ada orang yang lebih pandai dan berilmu daripadanya, yaitu Nabi Khidir a.s. Nabi Musa a.s pun penasaran ingin bertemu dan berguru kepada hamba Allah tersebut. Setelah mengalami perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya Allah mempertemukan Nabi Musa a.s dengan Nabi Khidir a.s. 

Keduanya pun sepakat untuk jalan bersama dengan syarat, Nabi Musa a.s tidak boleh bertanya apapun kejadian yang mereka alami di sepanjang perjalanan, sebelum Nabi Khidir a.s menjelaskannya. Jika syarat itu dilanggar, maka Nabi Khidir a.s tidak lagi mengijinkan Nabi Musa a.s berjalan bersamanya. Perjalanan pun diawali dengan menyeberangi lautan, menumpang perahu milik seorang nelayan yang dengan sukarela memberikan tumpangan kepada Nabi Musa a.s dan Nabi Khidir a.s tanpa meminta imbalan sepeser pun.
Perahu pun meluncur membelah lautan luas. Burung-burung laut beterbangan di atas perahu seolah mengucapkan selamat jalan mengiringi keberangkatan mereka. Hingga ada seekor burung yang hinggap pada tepian perahu, lalu berkali-kali mamatokkan paruhnya ke lautan. Melihat tingkah burung yang lucu itu Nabi Khidir a.s berkata, “Wahai Musa, ilmu Allah yang diberikan kepada kita tidak lebih dari setetes air dalam paruh burung itu, sedangkan lautan yang terbentang luas tanpa batas itulah ilmunya Allah”.

Setibanya di seberang lautan, Nabi Musa a.s dikagetkan dengan perbuatan Nabi Khidir a.s yang tiba-tiba melubangi perahu yang baru saja mereka naiki, papan-papan perahu dicopotnya hingga perahu itu tidak bisa digunakan lagi. Di mata Nabi Musa a.s, tindakan Nabi Khidir a.s itu adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Nabi Musa a.s sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia pun terdorong untuk bertanya, “Khidir ! Mengapa kau rusak perahu yang telah mengantarkan kita ke seberang lautan, bahkan kita tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk membayar pemilik perahu itu!”
Dengan tenang Nabi Khidir a.s menjawab, “Bukankah sudah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar mengikutiku”

Nabi Musa a.s sadar bahwa ia telah melanggar janjinya untuk bersabar. Namun Nabi Musa a.s tetap ingin belajar banyak ilmu kepada Nabi Khidir a.s, “Wahai Khidir. Maafkan aku. Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku, biarkan aku tetap bersamamu”. Permintaan maaf Nabi Musa a.s diterima oleh Nabi Khidir a.s.

Kedua Nabi Allah itu pun kembali berjalan hingga bertemu dengan sekelompok anak-anak yang sedang bermain di kebun. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di sebuah pohon. Tiba-tiba Nabi Khidir a.s menghampiri anak itu, lalu membunuhnya. Nabi Musa a.s terhenyak, dengan lantang ia berkata “Khidir ! Kau baru saja membunuh seorang anak tak berdosa, mengapa kau lakukan itu!”

Nabi Khidir a.s pun menjawab, “Bukankah sudah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar mengikutiku”

Kali ini kedua kalinya Nabi Musa a.s lupa akan janjinya. Sehingga Nabi Musa a.s betul-betul memohon pada Nabi Khidir a.s agar memaafkannya.

“Wahai Khidir. Maafkan aku. Berilah aku kesempatan sekali lagi. Jika aku mengulangi kesalahanku, jangan ijinkan aku mengikutimu lagi”. Nabi Khidir a.s kembali menerima permintaan maaf Nabi Musa a.s.

Keduanya melanjutkan perjalanan yang cukup jauh hingga sore hari tibalah mereka di suatu perkampungan. Baik Nabi Musa a.s maupun Nabi Khidir a.s sama-sama merasakan letih dan lapar, sehingga keduanya mendatangi rumah penduduk kampung itu, meminta makanan dan minuman sekedar untuk mengganjal perut. 

Tetapi apa yang terjadi? Tidak seorang pun penduduk kampung itu yang mau memberi makanan maupun minuman pada keduanya. Nabi Musa a.s kesal melihat perlakuan penduduk kampung yang tidak menyenangkan dalam menyambut tamu, namun perasaan itu dipendamnya dalam-dalam. Nabi Khidir a.s dan Nabi Musa a.s pun duduk bersandar di sebuah dinding yang hampir roboh. Tiba-tiba Nabi Khidir a.s berusaha membangun dinding itu, bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu hingga kembali berdiri dengan kokoh. Nabi Musa a.s sangat heran melihat tindakan Nabi Khidir a.s. Baginya, penduduk desa yang bakhil itu tidak layak mendapat perlakuan seperti itu.

Disinilah ternyata Nabi Musa a.s tidak kuat menahan perasaannya. “Khidir, apalagi yang kau lakukan? Bukankah mereka telah menolak permintaan kita. Mengapa malah engkau tegakkan dinding rumah mereka? Jika kau mau, minta saja upah pada mereka”.

“Wahai Musa. Inilah perpisahan antara engkau dan aku”.

Kemudian Nabi Khidir a.s menceritakan kepada Nabi Musa a.s tentang kebingungan dan kesamaran yang telah membuatnya tidak mampu menahan diri untuk bertanya.

“Pertama, perahu yang aku rusak itu milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, di hadapan mereka ada seorang raja kejam yang akan merampas semua perahu milik mereka. Dengan aku merusaknya, perahu itu tidak akan dirampas oleh raja sehingga mereka bisa memperbaiki kembali setelah raja itu pergi. Kedua, anak yang aku bunuh, kedua orang tua anak itu adalah orang-orang yang beriman sedangkan anak itu kelak ketika dewasa menjadi orang kafir dan akan memaksa kedua orang tuanya ke dalam kesesatan dan kekafiran. Aku berharap agar Allah mengganti untuk kedua orang tuanya dengan anak yang lain yang lebih baik dan lebih suci serta lebih sayang terhadap ayah dan ibunya. Ketiga, dinding rumah itu adalah milik dua bocah yatim di kampung itu dan di bawahnya terdapat harta peninggalan hak milik mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka Allah menghendaki supaya mereka sampai pada masa dewasanya dan mengeluarkan simpanan harta peninggalan itu.
 
Kalau sampai dinding itu roboh sedangkan keduanya masih belum dewasa, aku kuatir hartanya akan ditemukan orang sehingga dibuat rebutan”.

“Wahai Musa itulah penjelasanku, semoga engkau mengerti, selamat tinggal”.
Jelas sudah, bahwa semua tindakan Nabi Khidir a.s itu bukanlah atas inisiatifnya sendiri melainkan digerakkan oleh Allah Yang Maha Tinggi dimana pada setiap kehendakNya selalu menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan Nabi Khidir a.s yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru terdapat rahmat dan kasih sayang didalamnya. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Nabi Musa a.s. Meskipun Nabi Musa a.s memiliki ilmu dan pengetahuan yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba Allah yang bernama Khidir a.s.

Nabi Khidir a.s telah memberikan dua pelajaran berharga kepada Nabi Musa a.s, pertama bahwa ilmu manusia itu terbatas sedangkan ilmu Allah sangatlah luas, sehingga tidak pantas bagi manusia merasa bangga dengan ilmu yang dimilikinya. Kedua bahwa banyak musibah terjadi di muka bumi justru dibalik itu terdapat hikmah yang banyak, sehingga tidak semestinya manusia terlarut dalam kesedihan dikala tertimpa musibah karena dibalik musibah itu terdapat kelembutan dan kasih sayang Allah yang begitu besar.

Itulah akhir dari kebersamaan Nabi Musa a.s dan Nabi Khidir a.s. Andaikan Nabi Musa a.s bisa menahan diri untuk bersabar, mungkin dapat lebih lama lagi belajar bersama Nabi Khidir a.s. Tetapi itulah kehendak Allah, kedua Nabi Allah itu harus berpisah secepat itu. Padahal masih banyak rahasia ilmu Allah yang belum terungkap.


Artinya : “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan menjadi tinta, ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya dituliskan kalam Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” QS. Luqman 27

Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Ibnu Majah Juz 2 halaman 1338

Hadits senada yang diriwayatkan oleh Sunan Tirmidzi Juz 4 halaman 179


Musibah adalah bagian dari cobaan Allah kepada hambaNya.
Rasulullah SAW bersabda, “Besarnya pahala tergantung besarnya cobaan. Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Allah memberinya cobaan. Maka barangsiapa ridha dengan cobaan Allah, baginya ridha dari Allah, sebaliknya barang siapa murka, maka baginya murka dari Allah” HR. Tirmidzi


Selalu ada hikmah dibalik setiap musibah.

Sumber :
H. Dave Ariant Yusuf W., Spd.i
Dept. Pendidikan Agama dan Dakwah DPP LDII

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Top