LDII

LDII
Official Website
Sabtu, Juni 29, 2013
0 komentar

PENCUCIAN UANG

Tindak pidana korupsi yang kini marak diberitakan, umumnya melibatkan tindak pidana pencucian uang. Maka pencucian uang atau money laundering, demikian deras menghujani benak publik akhir-akhir ini. Apa sebenarnya pencucian uang ? Apa modusnya ?
Pencucian uang adalah suatu kegiatan menyamarkan asal-usul uang hasil tindak kejahatan. Modusnya melalui berbagai transaksi keuangan agar uang haram itu menjadi kelihatan bersih. Itu dilakukan pelaku kejahatan agar bisa beralibi di hadapan hukum; aparat penegak hukum tak bisa menelusuri uang hasil kejahatannya dan luput dari kemungkinan jadi barang  bukti tindak kejahatan.
Konon, praktik money laundering mulai ditemukan 2.000 tahun lampau semasa kekaisaran Cina: Para pengusaha menyembunyikan harta, mengakali pajak pemerintah. Istilah money laundering berasal dari gengster Chicago Al Capone di era 1920-an yang melegenda. Al-Capone membeli jaringan laundry bernama Sanitary Cleaning Shop, dan menjadikannya kedok jual-beli alkohol ilegal. Jika sang Godfather ditanya bisa biayai hidup mewah, dia cukup jawab “well, ternyata makin banyak mencuci pakaiannya di tempat saya”. Orang tak tahu, harta sumber harta terbesarnya dari penjualan miras ilegal.
Ada tiga tahap proses pencucian uang. Pertama, placement (penempatan). Dana hasil tindak kejahatan diubah kedalam bentuk lain agar tak menimbulkan kecurigaan, dengan menempatkannya ke dalam sistrem keuangan, misal, di bank atau lembaga non-bank.
Kedua, layering atau pelapisan, adalah transaksi keuangan secara kompleks atau berlapis untuk memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening, sehingga sulit dilacak asal muasalnya. Misal, dana yang telah disimpan di bank ditransfer ke berbagai rekening sehingga menjadi samar asal usulnya.
Ketiga, integrasi (Penggunaan Dana), memasukkan kembali dana yang sudah kabur asalnya ke dalam kekayaan pribadinya. Melalui dua tahap sebelumnya, uang seakan milik sahnya, sehingga dapat dipergunakan dan dinikmati pelaku berbagai kegiatan sah, seperti pembelian barang dan pemenuhan lifestyle sehari-hari.
Secara garis besar, modus pencucian uang terdiri dua bagian, yaitu modus tradisional dan modus kontemporer. Modus tradisional paling sering digunakan dalam pencucian uang. Namun tetap merepotkan aparat penegak hukum, karena dilakukan dengan berbagai kombinasi, sehingga perlu analisa sangat tajam untuk mengurai mata rantainya.
Modus tradisional terdiri beberapa modus dasar: Smurfing: Upaya menghindari pelaporan dengan memecah transaksi oleh banyak pelaku. Structuring, yaitu menghindari pelaporan dengan memecah trnsaksi menjadi lebih kecil. U Turn: Mengaburkan asal usul hasil kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi, lalu dikembalikan ke rekening asalnya.
Cuckoo Smurfing, mengaburkan asal usul sumber dana dengan mengirimkan dana melalui rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri. Tanpa disadari penunggu jika dana itu merupakan “proceed of crime”. Mingling, mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana hasil kegiatan usaha legal untuk mengaburkan sumber asalnya.
Penggunaan identitas palsu, transaksi dengan identitas palsu guna mempersulit terlacaknya identitas  dan deteksi pelaku pencucian uang. Off Shore Banking, modus ini melibatkan institusi keuangan di negara surga uang, seperti Karibia, tanpa menanyakan asal-usulnya, asal ada uang, transaksi, dan menguntungkan bank.
Shell companies, perusahaan fiktif sengaja diciptakan untuk transaksi keuangan fiktif. Misalnya Anda tercatat jadi komisaris atau Direksi PT Abal-Abal wal Tbk. Perusahaan itu fiktif, tapi didukung data meyakinkan sehingga bank percaya menjadikannya nasabah.


Infiltrasi Investasi (Troya), pelaku memecah uang haram, membeli produk-produk investasi di institusi resmi. Berupa reksa dana, saham, obligasi ritel, atau apa pun. Bak kuda troya; menyusupkan uang haram ke institusi halal. Atau praktik asuransi; membuka account, mengambil premi asuransi langsung serta meraih benefit sesuai klausul yang disepakati.

Setelah dipecah, dana ditransfer ke berbagai bank, lokal maupun luar negeri. Pelaku tetap mengendalikan banyak rekening sesuai nominal serta kepemilikan yang berbeda. Lalu ditransaksikan ke bulk account (rekening tampungan), sesuai pemecahan transaksi dan nominalnya. Data rekening tampungan biasanya fiktif, baik sebagai nasabah individu mapun nasabah badan usaha. Atau bahkan langsung ke rekening pelaku sendiri setelah memutarbalikkan transaksi dengan media transaksi normal.

Seiring pengetatan pengawasan lembaga keuangan, pelaku money laundering pun cerdik berkiat cara baru, seperti modus export-import. Ini tak sendiri, tapi bekerja sama dengan pelaku lain, mengubah nilai barang. Mencuci dana haram Rp 1 miliar, cukup membeli barang ekspor, seperti kerajinan senilai Rp 100 juta. Semua dokumen ekspor dinaikkan jadi Rp 1 miliar. Perusahaan eksportir fiktif yang juga miliknya membayar Rp 1 miliar yang sebenarnya cuma senilai Rp 100 juta, lantas jadi harta legal.

Barang-barang Seni.  Ini modus yang jarang terendus. Bisa melalui pembelian di pasar gelap, memalsukan dokumen perolehan barang seni, lalu menjual ke balai lelang di luar negeri. Atau beli dari balai lelalng resmi, menurunkan nilainya di dokumen ekspor-impor, membawa ke negara asal, lalu menjual dengan harga pasar. Jika tak laku, harga barang seni terus meningkat. Modus ini dipilih karena belum ada regulasi keuangan yang mengatur balai lelang. Mereka bebas melakukan transaksi tanpa wajib melapor ke pihak berwajib.

Yayasan Sosial. Mendirikan yayasan dengan dana operasional uang haram. Pelaku sebagai pengurus, menciptakan donatur-donatur fiktif, membiayai gaya hidup mewahnya atas nama yayasan: membeli rumah atau mobil mewah atas nama yayasan. Dengan rekam transaksi akuntansi benar ada dan legal. Terlebih yayasan tak wajib diaudit akuntan publik.

Perangkat Hukum
Atas dasar kecenderungan kompleksitas yang kian rumit seperti itu, pemerintah dan semua pihak merasakan pentingnya perangkat hukum untuk mengantisipasi tindak kejahatan pencucian uang ini. Pemerintah memberlakukan gerakan anti pencucian uang melalui UU No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Bahkan upaya parsial telah dilakukan sebelumnya. Di industri perbankan, lahir Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) lewat beberapa perubahan hingga Peraturan Bank Indonesia No. 14/27/PBI/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisma Bagi Bank Umum.

Lembaga keuangan di Indonesia diwajibkan melaporkan setiap transaksi tunai dalam jumlah diatas Rp 500 juta ke Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), berupa laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR). Di Amerika Serikat jumlahnya diatas $10,000. Jika lebih, bank wajib menulis Currency Transaction Report (CTR) kepada Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN). Jika terjadi lonjakan drastis transaksi di satu lembaga keuangan dan terindikasi menyimpang Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Reports (STR).

Pencucian uang amat mengancam tatanan ekonomi sosial masyarakat dunia, sebab menghalalkan segala cara. Pelaku tak lagi berhitung nominal yang mereka korbankan. Separuh dari total uangnya sekalipun dengan satu tujuan: uang haramnya menjadi seolah sah dan legal. Let’s combating money laundering !

Sumber : Info Bank Syariah Edisi Mei dan Juni 2013.
Oleh Ponco Wahyu Adiwidjanarko : Kepala Satuan Kerja Kepatuhan bank BJB Syariah







0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Top